Bali Swing, Wisata Ayunan Yang Menjamur Hingga Menginfeksi Sumbersari

Ayunan Bali atau Bali Swing dalam Bahasa inggris, menjadi kata kunci yang populer dalam dunia perwisataan Bali. Bali Swing menyusul kepopuleran wisata selfie yang menjamur beberapa tahun terakhir ini. Demikianlah adanya, ketika sebuah produk populer dan diburu wisatawan, maka setiap yang merasa mampu menyediakan produk sejenis akan segera menyusul, agar bisa turut menyesap tetesan manis madu wisata.

Ayunan sejatinya bukan mainan baru di Bali. Tradisi mayunan (meayunan) bahkan menjadi bagian ritual di beberapa desa tua Bali. Sebut saja desa Tenganan di Karangasem, atau Desa Tua di Marga, Tabanan.

Anak-anak jadul ataupun anak-anak milenial pasti mengenal permainan ayunan, sesuai dengan tradisi masa kecil mereka. Saya yang lahir di desa tahun 80an, menikmati ayunan yang dipasang di bawah pohon jeruk bali yang rindang, atau menggunakan tanaman merambat di bawah pohon besar di pinggir sungai. Anak perkotaan sekarang umumnya mengenal ayunan di playground taman kota atau di sekolah PAUD.

Ayunan juga biasa digunakan untuk bayi. Ayunan bayi dibuat dari anyaman bambu atau rotan seperti membuat keranjang, atau dari kain dengan bingkai kayu. Ayunan bayi biasanya dipasang di jineng atau lumbung padi, yang sangat membantu para Ibu menidurkan bayinya pada siang hari.

Bali Swing (Ayunan) dan Wisata Bali

Wisata Bali telah bergulir dan melalui rentang waktu yang panjang. Bergerak terus seakan tidak bisa dihentikan, memasuki tiap sisi alam dan masyarakat Bali. Di beberapa sisi cenderung tidak bisa dikendalikan, walaupun kelihatannya ada yang mengendalikan.

Kembali ke fenomena Bali Swing yang menjadi nuansa baru industry pariwisata Bali. Rupa-rupanya menyusup juga ke desa di Bali Barat. Saya menemukan beberapa foto yang diunggah di akun sosial media teman saya, sebut saja Wayan Nano. Rupanya dia bersama rekan-rekan sepemikiran, tergabung dalam kelompok sadar wisata (Pokdarwis) PASSIH (Pariwisata Sumbersari Harmoni) dan tengah membangun sebuah wahana wisata. Rupanya mereka serius, karena secara berkala mengunggah foto kegiatan gotong-royong mereka.

Untuk mengobati penasaran, saya kemudian mengunjungi tempat yang sedang mereka tata, di pinggir pantai Sumber Sari, Desa Melaya, Jembrana. Di atas lahan kurang lebih 20 are, yang terletak persis di atas batu karang di bibir pantai, dengan beberapa batang pohon jati yang sedang meranggas karena musim kemarau yang panjang, kelompok ini membuat sebuah ayunan menghadap ke pantai. Pantai ini sesungguhnya sudah lebih dahulu dikenal masyarakat sebagai pantai karang impian, di mana fotografer sering melakukan pemotretan.

Anak Desa dan Potensi Desa

bali swing sumbersari

Saya mengunjungi mereka pada hari sabtu. Anggota Pokdarwis PASSIH sedang berbagi tugas. Sebagian memasang atap dari daun kelapa kering pada sebuah bale bengong yang memanfaatkan empat batang pohon jati sebagai tiang. Sementara beberapa orang lainnya sedang menggarap batang pohon besar, yang dijadikan papan sebagai bahan meja.

Saat ngobrol santai, dengan tiga anggota Pokdarwis PASSIH sambil makan sambal dengan ikan bakar dan nasi putih di warung lesehan setempat, saya menangkap gairah yang sedang hangat di antara mereka. Tut Banda, pelaku pariwisata yang juga berpengalaman menjadi kelian adat, Tu Ebeng yang mengaku lebih suka bekerja bebas dengan gairah musik dan kepedulian pada isu lingkungan, dan Wayan Nano yang saya kenal sebelumnya sebagai editor video dan trader online, yang kini memutuskan untuk merdesa.

Mereka bercerita, areal swing di atas karang impian pantai Sumbersari, merupakan langkah awal yang instan, menuju proses penggalian potensi lain yang dimiliki Sumbersari. Hal instan dibutuhkan guna memicu kepercayaan, bahwa apa yang mereka lakukan tidak sia-sia, akan ada hasil, karena tidak semua orang memiliki wawasan jauh ke depan seperti pentolan-pentolan PASSIH. Butuh pembuktian secepat mungkin, karena Sumbersari bukan Ubud atau Bedugul yang telah menjadi bulan-bulanan wisatawan. Jembrana hanya menjadi jalan bebas hambatan, bagi puluhan bus wisata dari Jawa menuju Denpasar dan Badung, menjadi perlintasan turis dari Kuta menuju Ijen atau G-land, Pantai Pelengkung, Banyuwangi.

Swing & Camping Ground

sumbersari

Sebagai alternatif bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana pantai Sumbersari lebih lama, areal yang dikelola Pokdarwis PASSIH, diperuntukkan pula untuk kegiatan berkemah. Ini menjadi kombinasi yang menarik; swing sebagai pemantik, pantai karang impian sebagai potensi alam yang sudah dikenal dan camping ground.

Sebagai anak-anak muda, mereka mengandalkan energi muda mereka serta wawasan kekinian terkait perkembangan dunia pariwisata. Termasuk juga kedekatan mereka dengan teknologi informasi yang tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan ekonomi dan industri  saat ini, yang katanya ada di titik 4.0. Gagasan-gagasan segar inilah yang menjadi proposal kuat, sehingga mendapat sokongan dari tokoh-tokoh setempat, seperti Penasehat Pokmas pak Ketut Pasek dan Pak Kamto selaku pemilik lahan, di mana lokasi swing dan camping ground berada.

Ketika areal swing dan camping ground ini berjalan, mereka merencanakan pergerakan selanjutnya adalah menggarap potensi di lingkungan desa, menyiapkan sebuah konsep terpadu wisata perkebunan; di antaranya kakao, pisang, pepaya dan kelapa, dengan aktivitas masyarakat dalam mengolah hasil kebun menjadi produk gula kelapa, sabun dan virgin coconut oil (VCO). Potensi-potensi tersebut sesungguhnya sudah berjalan dengan sendirinya, tinggal kemudian ditata dan dikemas dengan rapi agar tampak manis, sehingga semut-semut wisata akan segera merubung. Semoga bukan semut gatal yang membuat alergi.

Desa dan Masa Mendatang

bali swing sumbersari

Sumbersari memiliki bentang alam yang lengkap. Dari pantai hingga hutan yang berbatasan langsung dengan kawasan penyangga Taman Nasional Bali Barat. Ini menjadi potensi sekaligus tantangan. Jika benar dalam pemanfaatannya, maka akan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat setempat.

Yang sering terjadi, sebuah kawasan digempur dengan perubahan demi parawisata, namun masyarakat setempat tidak pernah siap atau disiapkan untuk menghadapinya, yang kemudian hanya membiarkan mereka menjadi penonton yang hanya menerima remah bahkan sekedar limbah dan sering menjadi gerah.

Rintisan Pokdarwis PASSIH, yang tampak penuh gairah dan gigih, di pantai yang bukan berpasir putih, saya rasa akan menjadi pondasi bagi penyiapan masyarakat dan lingkungan, ketika suatu saat – beberapa penginapan dan villa yang kini telah ada mungkin akan ketambahan oleh resort –  mereka tidak dicaplok secara kejam.

Made Birus

Pencerita yang suka berbagi melalui tulisan, foto, tarot dan film yang terus didalami dan dinikmati. Tahun 2019 mengeluarkan buku kumpulan cerpen Politk Kasur, Dengkur dan Kubur. Beraktivitas bersama Minikino, Film Sarad, Mipmap dan Bali Tersenyum.