Menonton adalah aktivitas dengan indra pengelihatan. Bagaimana caranya jika ingin mengajak Tuna Netra (Orang Buta) untuk menonton film pendek? Inovasi untuk memberikan akses pada tuna netra terhadap tontonan film pendek dilakukan oleh Minikino dalam ajang tahunan Minikino Film Week 6. Film-film yang disediakan untuk tontonan penyandang Tuna Netra, diambil dari program S-Express 2020: Indonesia, yang merupakan bagian dari program pertukaran film pendek dari negara-negara Asia Tenggara yang telah berjalan sejak tahun 2003.

S-Express 2020: Indonesia

S-Express 2020: Indonesia terdiri atas 5 (lima) film pendek yang dikurasi oleh Direktur Program Minikino, Fransiska Prihadi. Kelima film pendek tersebut ialah, Sunyi (sutradara Riani Singgih, Dokumenter, 2018) Joko & Bowo Reading Vol. 1 (sutradara: I Kadek Jaya Wiguna, Fiksi, 2019), Omah Njero (sutradara: Gelora Yudhaswara, Fiksi, 2019), Jemari Yang Menari di Atas Luka-Luka (sutradara: Putri Sarah Amelia, Fiksi, 2019) dan Bura (sutradara: Eden Junjung, Fiksi, 2019).

“Kelimanya memiliki cerita yang patut disuarakan di tahun 2020 ini. Harapannya film-film pendek ini dapat menggugah diskusi yang menarik.” Ungkap Fransiska Prihadi.

Deskripsi Audio & Teater Kalangan

Menambah keistimewaan S-Express 2020: Indonesia, tahun ini Minikino bekerjasama dengan kelompok seni pertunjukan ternama di Bali, Teater Kalangan untuk membuat deskripsi audio untuk seluruh film pendek S-Express 2020: Indonesia. Audio Description ini bermanfaat untuk memberi akses pada tuna netra agar turut bisa menikmati film.

“Biasanya kegiatan menonton untuk tuna netra didampingi oleh seseorang yang akan membisikkan adegan-adegan dalam film. Metode ini memerlukan relawan dengan jumlah memadai. Pendekatan pembisik ini memiliki kendala deskripsi adegan yang belum tentu sesuai dengan maksud sinematografer. Penyampaian antara satu relawan dengan yang lain juga bisa saja berbeda dan mengubah nuansa film. Dengan Audio Description pengalaman menonton film bisa makin menyenangkan tanpa mengubah kualitas film yang dibuat oleh pembuatnya.” Terang Fransiska Prihadi.

Teater Kalangan bergerak dalam membuat naskah deskripsi audio sekaligus menarasikannya. Sebagai Koordinator Deskripsi Audio untuk kelimat film pendek dalam program S-Express 2020: Indonesia ialah Agus Wiratama. Deskripsi audio film Sunyi ditulis dan dinarasikan oleh Manik Sukadana, Joko & Bowo Reading Vol. 1 oleh Wayan Sumahardika dan dinarasikan oleh Iin Valentine, Omah Njero ditulis oleh Jong Santiasa Putra dan dinarasikan oleh Dedek Surya Mahadipa, Jemari Yang Menari di Atas Luka-Luka ditulis oleh Juli Sastrawan dan dinarasikan oleh Iin Valentine, dan Bura ditulis dan dinarasikan oleh Agus Wiratama.

S-Express 2020: Indonesia dengan deskripsi audio ini dapat disaksikan dalam Minikino Film Week 6 – Bali International Short Film Festival pada tanggal 5, 6, dan 10 September. Lokasinya, secara berturut-turut, dapat ditemui di Minihall Irama Indah, Rumah Sanur Creative Hub, dan Antida Sound Garden.

Film Pendek Asia Tenggara

Program pertukaran film pendek se-Asia Tenggara, S-Express tahun ini menapaki edisi ke-18. Sejak 2002 S-Express masih menjadi satu-satunya program pertukaran film pendek yang menghubungkan sejumlah negara di Asia Tenggara dan menjadi bagian penting dalam sejarah perkembangan film pendek di negara-negara yang terlibat.

Minikino bergabung dalam jejaring S-Express pada tahun 2003 dan hingga saat ini terus aktif mendistribusikan film-film pendek Indonesia ke negara-negara Asia Tenggara dalam jejaring S-Express. Negara-negara tersebut antara lain, Malaysia, Myanmar, Filipina, Kamboja, Singapura, Thailand, dan Vietnam.  Di Indonesia sendiri, S-Express telah menjadi bagian dari festival film pendek tahunan Minikino Film Week yang tahun ini akan terlaksana mulai 4-12 September 2020 di Bali.

Film Pendek Indonesia wajib diusahakan agar ditonton oleh lebih banyak orang dalam jaringan festival-festival film pendek di penjuru dunia. Hal ini mungkin terjadi jika film tersebut masuk dalam radar jaringan kerja festival-festival film dunia, seperti jejaring yang dibangun oleh Minikino. Lengan distribusi dalam organisasi Minikino secara efektif membuka celah diseminasi film pendek secara luas.

Film Pendek Indonesia Di Show Me Shorts

Minikino dan para pembuat film Indonesia kembali menambahkan daftar panjang kerjasama internasional dalam promosi seni dan budaya dalam bentuk film pendek. Kali ini kerjasama pertukaran program terjalin antara Minikino dengan Show Me Shorts, sebuah festival film pendek yang berbasis di New Zealand. Film-film pendek Indonesia pilihan Direktur Program Minikino Fransiska Prihadi akan diputar dalam salah satu program bulanan Show Me Shorts. Sebaliknya, beberapa film pendek dari New Zealand akan diputar dalam Minikino Film Week - Bali International Short Film Festival tahun keenam yang akan diadakan di Bali, 4-12 September 2020 mendatang.

“Diputarnya film-film pendek Indonesia dalam program bulanan Show Me Shorts adalah langkah awal dari kerjasama kami dengan festival film pendek internasional terdepan di New Zealand tersebut. Ini merupakan kesempatan yang istimewa mengingat Show Me Shorts Film Festival telah memiliki kualifikasi Oscar dan terakreditasi oleh Academy Awards,” terang Fransiska Prihadi.

Awalnya, Fransiska Prihadi mengkurasi 12 film pendek Indonesia yang kemudian dikirimkan ke Show Me Shorts. Selanjutnya, Gina Dellabarca selaku Direktur Festival dan Co-Founder Show Me Shorts sekaligus Vice Chair of the Board dari asosiasi internasional, Short Film Conference, menyeleksi kembali film-film pendek tersebut hingga akhirnya terpilihlah 6 (enam) film pendek Indonesia yang akan diputar di New Zealand.

6 Film Pendek Indonesia Terpilih

berikut dafrat film terpilih yang diputar di Festival Film Pendek Show Me Shorts New Zealand, antara lain:

Keenam film tersebut sebelumnya dijadwalkan akan diputar dengan tajuk “Indonesian Short Film Night” pada Selasa, 18 Agustus 2020 pukul 19.00 waktu setempat di The Kingslander, 470 New North Road, Kingsland, Auckland dan Rabu, 19 Agustus 2020 pada jam yang sama di Third Eye Tuatara Bar, 30 Arthur St, Te Aro, Wellington. Kemudian dilanjutkan dengan geo-blocked online-event yang hanya bisa diakses di New Zealand selama dua hari saja yaitu pada tanggal 20-21 Agustus 2020. Namun, akibat adanya penambahan kasus COVID-19 baru di New Zealand per tanggal 11 Agustus lalu, seluruh pemutaran disiarkan secara online dengan geo-blocked New Zealand bagi penonton yang sudah membeli tiket. Show Me Shorts juga merangkul KBRI Wellington, New Zealand untuk mendukung berlangsung acara ini.

Direktur Program Minikino Fransiska Prihadi berharap kedepannya film pendek Indonesia mendapat perhatian dan diikutsertakan dalam festival tahunan Show Me Shorts.

Saya berkesempatan mengunjungi dan mengikuti beberapa festival, di Bali ataupun di luar Bali. Tidak banyak, tapi cukup variatif, mulai dari festival kecil sampai yang katanya paling besar di kelasnya, mulai yang satu tema sampai multi-platform, mulai yang dua hari sampai yang satu bulan. Saya juga adalah anggota komite penyelenggara festival film pendek, yang artinya saya ada di dalam hiruk-pikuk festival, baik sebagai penonton, pengisi acara, dan penyelenggara.

Kalau diresapi dari beberapa kamus, festival diartikan sebagai sebuah perayaan, pesta meriah, sebuah peringatan tertentu yang dilakukan berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu, diisi dengan rangkaian kegiatan. Kata festival juga dikaitkan dengan peringatan atau perayaan yang sifatnya religius, holiday.

Di Bali, kemeriahan festival bisa dirasakan sepanjang tahun, mulai dari festival di setiap pura dengan odalan, melaspas, ngenteg linggih dan sebagainya. Ada juga festival-festival oleh pemerintah kabupaten/kota, oleh pemerintah provinsi, dinas-dinas, pemerintah pusat, ada juga festival oleh desa-desa yang berusaha merayakan kearifan lokal dan kreatifitas desanya. Kalau sebuah festival desa di promosikan dengan label Village Festival, itu biasanya pasti rame dan tempatnya memang di desa yang sudah punya pasar turis sehingga butuh diinggriskan.

Apa Itu Festival Dusun

festival dusun

Lalu bagaimana jika sebuah festival diselenggarakan dan dilabeli sebagai Festival Dusun? Apanya yang menarik, apa hebatnya? Apa yang mau dijual?

Kata Dusun, nak dusun, orang dusun, sejenis dengan penggunaan kata orang kampung, kampungan, anak kampung, yang identik dengan terbelakang, tertinggal, di bawah garis kemiskinan, tidak berpendidikan, ya pokoknya anu lah. Lalu, ujug-ujug ada Festival Dusun, di sebuah dusun yang disebut Dusun Senja di sebuah lingkungan Banjar Moding Kaja, Desa Candikusuma, Melaya – Jembrana.

Tahun 2015, saya mendengar tentang Festival Dusun ini, namun tidak berkesempatan untuk datang. Lalu, 21 – 24 Desember 2019 mereka muncul lagi, artinya setelah 4 tahun baru diadakan lagi, dan beruntung saya berkesempatan datang setiap sore dari tanggal 22 hingga penutupan pada tanggal 24 Desember 2019.

Kenapa baru muncul lagi sekarang? Saya tidak bertanya langsung, hanya mengira dari gerak-gerisk dan obrolan selama festival, baik dari pengisi acara, pendukung acara, Nanoq Da Kansas sebagai inisiator, dan Tut Wi sebagai tuan rumah. Saya menerka, mereka mengelami kegairahan kembali setelah sekian lama, kegerahan baru melihat suasana perdusunan yang kelihatannya masih berkiblat pada perkotaan dan kemoderenan, yang malah ingin melupakan perdusunan.

Festival Dusun ini kalau mau diceritakan, ya pokoknya dusun sekali lah. Hanya sebuah rame-rame di sisin pangkung (pinggir kali), lelakut dimana-mana, nonton wayang di bawah pohon pisang, megesah (ngobrol) di bawah pohon kelapa, kulinernya hanya lokalan; jaje kuskus injin, bubuh sumsum, cendol, tipat plecing, tidak ada sosis bakar atau hotdog. Apa yang mau dibanggakan? Pokoknya anulah kalau dibandingkan dengan festival plat merah yang penuh ingar-bingar dan taburan bintang kelap-kelip, kerling mata Syahrini atau tarian cuci mobil.

Sebagai sebuah festival, Festival Dusun memiliki rangkaian acara yang menarik. Ada workshop, talk show, presentasi, pameran, kuliner dan pementasan. Kegiatan ini berusaha menarik minat warga setempat dan warga dari seantero negeri anu, ada yang dari Yogyakarta, Temanggung, Bedugul, Bangli, Buleleng, Denpasar, Jembrana dan warga seputar pangkung dan bukit cemara.

Festival Yang Mengajak Sombong

Saya merasa bahwa festival ini adalah sebuah festival yang sombong di sebuah dusun sepi yang jauh dari hiruk-pikuk, untuk mendobrak bebal pikiran, membunuh setan yang berdiri mengangkang mengangkangi pikiran. Mereka sombong karena memiliki kemewahan yang sesungguhnya, yang sulit didapat di jaman yang sudah menjadikan nilai 'kota' sebagai parameter kemewahan.

Begini, Festival Dusun bisa menjadi role model. Belajarlah dari Festival Dusun di Dusun Senja untuk bisa berfestival secara gotong-royong, guyub, menampilkan potensi setempat dan para sahabat dengan sederhana namun menggembirakan. Sebuah visi penyadaran bahwa dusun juga punya daya hidup, tempat hidup dan menghidupi. Memahami dusun, membangun dusun bukan sekedar bicara dari kota anu, dengan berbagai jargon. Tapi datanglah, tinggal dan pahami seutuhnya dengan segala potensinya, sehingga bisa sombong menjadi anak dusun, sombong menjadi petani dusun, sombong menjadi anggota KWT yang punya produk coklat kelas dunia. Lalu, mari terjemahkan sombong itu menjadi proud, sebuah kebanggaan.

Ayo belajar dari Festival Dusun. Saya banyak belajar di sini. Ayo, biar anak kota iri. Dan saya iri.

Gelaran acara akhir tahun Minikino, yakni Open December telah memasuki kali ke-17 diselenggarakan Sabtu, 21 Desember 2019. Yang istimewa tahun ini adalah kerjasama dengan pemerintah desa Padangsambian Kaja mengadakan acaranya di Balai Pertemuan Karang Sari, Jalan Gunung Sari, Padangsambian Kaja, Denpasar dalam bentuk Pop-Up Cinema atau layar tancap. “Ini adalah pertama kalinya dalam 17 tahun Open Desember diadakan dalam bentuk layar tancap di tempat terbuka.” demikian I Made Suarbawa selaku koordinator teknis menegaskan.

Para pembuat film dari berbagai penjuru satu-persatu berdatangan ke Balai Pertemuan Karang Sari sejak pukul 18.00 WITA. Sesuai aturan unik Open December, pembuat atau penanggung jawab film memang wajib hadir kalau ingin filmnya diputar. Pendaftaran hanya bisa dilakukan di lokasi acara. Semua jenis film pendek diterima tanpa pilih-pilih dan urutan film terpendek yang akan diputar lebih dahulu.

“Ini festival unik, karena kami sebagai penyelenggara tidak pernah mengetahui siapa yang datang dan film apa yang akan didaftarkan. Kami hanya menyebarkan publikasi seluas-luasnya, menyiapkan tempat dan menunggu.” Edo melanjutkan, ”Acara juga dibatasi hanya 2 (dua) jam saja, sehingga kalau kebanjiran pendaftaran film, maka ada resiko film yang urutannya geser ke belakang melebihi jam acara terpaksa tidak bisa terputar.” terang Edo Wulia, Direktur Minikino.

Sembilan Film Pendek di Padangsambian Kaja

Pada pukul 18:00 para filmmaker sudah mulai berdatangan mendaftarkan filmnya. Pukul 18.50 WITA pendaftaran ditutup dan layar telah siap. Film yang diputar pada malam itu secara berurut antara lain, “TITIK AKHIR” oleh sutradara Medy Mahasena, dengan durasi 01:16, “BREAKFAST” oleh Sally Halstead 02:50, “DUETRIP WITH SIDE PROJECT” oleh Pool Moon Elephant & Andy 03:00, “BEHIND THE SCENE FILM 12.00” oleh Wira Arya Dharma dan peserta Workshop 04:28, “SEPATU” oleh RJ Damayanti dan Irfan Thamrin 05:44, “12.00” oleh Wira Arya Dharma 05:49, “HARI LAHIR” oleh Imam Ghitrif Yuniandri dan Jaggro Jingga Muhammad 12:14, “TAPI BOHONG” oleh Ivan Surya Nugraha 15:00, dan “TERGILA-GILA” oleh Nirartha B. Diwangkara 15:00. Kesembilan film tersebut berhasil diputar dalam waktu kurang dari 2 jam yang ditentukan, sehingga tidak ada yang tertinggal karena kehabisan waktu.

Sebelum film mulai diputar, Kepala Desa Padangsambian Kaja, I Made Gede Wijaya, S.Pt., M.Si.memberikan sambutan pembuka ke penonton. “Biasanya kami di Desa Padangsambian Kaja hanya mengurusi masalah jalan rusak, selokan tersendat, kerja bakti bersih lingkungan. Kali ini kami merasa selangkah lebih maju dengan mengadakan pelatihan dalam bidang seni kreatif seperti film ini. Mudah-mudahan ini menjadi wadah kreatifitas yang bagus bagi anak-anak muda di lingkungan desa kami.” ucap pak Kepala Desa.

Kesembilan film yang diputar pada malam itu sangat bervariasi, mulai dari tema horor, video musik, dokumentasi kegiatan, komedi, hingga drama kejiwaan. Para filmmaker dan penonton yang hadir pun secara latar belakang sangat beragam. Ada yang filmnya telah memiliki reputasi dan telah diputar di festival  se-Asia Tenggara serta mendapatkan berbagai penghargaan, sampai pada film yang benar-benar baru pertama kali ditayangkan ke publik.

Premier Film Pendek Hasil Workshop

Film Masuk Desa

Open December ke-17 ini juga menjadi momen istimewa bagi para peserta Workshop Literasi Film dan Produksi Film Pendek Desa Padangsambian Kaja dan Minikino. Sebab, film pendek mereka berjudul “12.00” yang diproduksi pada Minggu, 8 Desember 2019 lalu ditayangkan perdana kepada umum pada acara ini.

“Sebetulnya masih ada beberapa skenario lain yang siap, hasil dari workshop, namun kisah film “12.00” ini yang dipilih untuk produksi karena mempertimbangkan berbagai tantangan teknis. Idenya mengambil mitos tentang mimpi di siang bolong.” kata Aryanthi Suastika dan Wira Arya Dharma mewakili teman-temannya.

Di akhir pemutaran, sudah menjadi kebiasaan, seluruh pembuat film diundang tampil ke depan dan berbagi cerita mengenai filmnya dan menerima pertanyaan-pertanyaan dari penonton yang penasaran. Open December ke-17 pada malam minggu itu pun ditutup dengan foto bersama seluruh penonton yang masih tinggal sampai akhir acara.

Masa bermain ke sungai saya alami di usia-usia sekolah dasar. Pada musim liburan sekolah, saya dan kakak selalu pergi ke rumah nenek yang sangat dekat dengan sungai. Bahkan sepetak kecil kebun kopi milik nenek, tempat kami berburu telur burung pipit dan tupai, persis terletak di lembah sungai.

Karena saya bukan warga setempat dan tidak bisa berenang, jadilah saya pengintil sepupu-sepupu dan kawan mereka yang ahli dalam persungaian. Saya berjongkok di atas batu menjadi penonton atraksi mereka melompat dari tebing batu ke dalam tibu (palung sungai). Atau berendam di bagian air dangkal menyaksikan kecurangan mereka saat lomba menyelam dan ikut tegang saat mereka bersitegang mengenai siapa pemenangnya, karena saya selalu diminta menjadi saksi.

Sungai merupakan habitat binatang yang nyaris semuanya bisa dimakan. Ikan tentu saja ada berbagai jenis dan semuanya enak. Namun kami juga sering menangkap udang, kepiting atau belut. Cara menangkapnya pun ada berbagai cara, tergantung jenis ikan atau kesenangan yang ingin kami dapatkan. Menangkap udang dengan jerat tali dari serat kelopak pisang (kotot), adalah permainan yang menyenangkan dan sangat meditatif. Kami harus bergerak sangat pelan, mengangkat batu yang kami curigai sebagai persembunyian udang dengan sangat perlahan pula. Jika bergerak terlalu cepat, kemungkinannya adalah udang akan segera kabur, atau air akan menjadi keruh sehingga tidak bisa melihat apakah di sana ada udang atau tidak. Tentu saja cara ini tidak pernah menghasilkan tangkapan yang lebih dari jumlah jari kelingking.

Cara menangkap ikan yang paling banyak menghasilkan adalah menggunakan perangkap bubu atau pencar (jala). Tapi ini permainan orang dewasa. Saya beberapa kali ngintil paman saya mencar (menebar jala) ke beberapa tibu yang diyakini menjadi habitat ikan paling banyak. Ya, orang dewasa selalu lebih berpengalaman dalam hal menangkap ikan, selalu ada banyak ikan. Kadang dungki (wadah ikan dari anyaman bambu) tidak sanggup menampungnya, sehingga dibutuhkan kaos yang saya pakai sebagai dungki darurat.

Sungai Dari Masa Lampau

Itu ingatan lampau, nyaris tiga puluh tahun yang lalu. Tempat kejadiannya sekitar 108 kilometer arah barat kota Denpasar. Petang itu, 12 November 2019 di Art Center Denpasar, ingatan sungai masa lampau sekonyong-konyong menyembul keluar dari pori-pori kepala saya. Pasalnya saya menyaksikan satu nomor pementasan Capung Hantu Project, pada hari terakhir Festival Seni Bali Jani 2019, yang dimainkan oleh anak-anak Sanggar Seni Kelakar dari SMP Dharma Wiweka – Denpasar.

Anak-anak belasan tahun memainkan dramatisasi puisi Sungai, sebuah puisi karya Kim Al Ghozali AM. Saya agak yakin anak-anak itu lebih mengenal Tukad Korea yang lebih menyerupai taman rekreasi ketimbang sungai sesungguhnya. Tapi penampilan mereka sejak awal pementasan, mampu menggambarkan gairah masa kecil tentang sungai dan tentu saja sejuk airnya. Anak-anak berpakaian serba hitam itu berlari di sekitar Kalangan Angsoka, mereka sedang menuju sungai. Persis seperti sepupu saya dan kawan-kawannya dimana saya ngintil di belakang mereka, yang begitu riang gembira berlari di antara pepohonan, menuruni lembah menghambur ke sungai.

Pementasa ini menjadi yang pertama bagi saya, menyaksikan ubah media dari puisi menjadi teater gerak. Prosesnya pasti memiliki tantangan tersendiri; menginterpretasikan kata menjadi gerak, membaca gagasan penulis kemudian mengubah ke bentuk baru sebagai sebuah gagasan baru di atas panggung.

Yang menarik dari pementasan ini bagi saya, adalah bagaimana Miss Desi Nurani yang menjadi pengempu, mengajak anak-anak Kelakar merespon ruang dengan dinamis. Bukan hanya terpaku panggung, petak kaku yang ada di depan kursi penonton, tapi juga seluruh areal termasuk tempat duduk penonton dan juga penonton itu sendiri diajak terlibat; bukan hanya menonton.

Setelah mereka asik bermain, berlompatan di atas bebatuan, terengah-engah memburu napas, mereka berteriak. “Di sana ada sungai!” dengan sumringah, berlari mengajak semua orang bergembira menuju tempat bermain mereka, sungai!

Gua buatan di samping belakang Kalangan Angsoka menjadi ruang bermain baru. Semua orang diajak masuk, semua orang berusaha masuk, ingin merasakan main di sungai. Saya tiba-tiba merasa sedang ada dalam lomba menyelam, sesak, pengap dan susah bergerak. Penonton yang serius, berusaha masuk lebih dalam dan menyaksikan, ada yang hanya suka-suka menempel di dinding gua memenuhi ruang, ada yang mengeluh kepanasan dan mengancam teman prianya untuk balik arah dan keluar bersamanya.

Keluar dari gua, kami diajak bermain di sisi lain sungai, sebuah perosotan. Sejatinya areal itu adalah areal bermain anak-anak yang menjadi bagian Art Center Denpasar, namun sudah tidak dirawat lagi.

Dulu kami main perosotan di jalan setapak yang menurun menuju sungai. Pelepah kelapa adalah kendaraan yang kami gunakan di kebun kopi nenek, di mana jalur prosotan cukup panjang dan menyenangkan. Dari ujung atas petak kebun kopi, meluncur hingga terhenti di bawah rumpun bambu di pinggir sungai. Sering kali permainan berujung tantangan untuk mencoba medan yang lebih wow. Sebuah jalur prosotan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan akhir langsung terjun ke dalam sungai. Ekstrim!

Lelah bermain di dalam sungai seperti juga anak-anak Kelakar, kami melanjutkan permainan di sepanjang sungai. Saling kejar, berburu buah liar atau buah-buahan di kebun tetangga. Kami akan kabur ketika kepergok pemilik kebun. Seru! Tetapi tentu saja, tengat waktu adalah akhir. Sore tiba, nenek mulai kawatir dan memburu kami ke sungai untuk segera pulang dan makan malam. Menyenangkan sekali.

Perjalanan Kembali Ke Taman Bermain

Perjalanan kembali ke sungai bersama anak-anak Kelakar, mengingatkan saya untuk berbagi permainan kampung kepada anak saya, yang lahir di kota, dibesarkan aroma urban, diempu teknologi.

Saya mulai menyadari, kenapa anak saya begitu gembira ketika diajak ke Taman Janggan, bermain prosotan plastik itu. Ternyata kita kekurangan permainan, kekurangan ruang, butuh kelegaan dari himpitan tembok rutinitas. Itu sebabnya kenapa tukad Bindu selalu ramai, tukad Korea selalu padat, lapangan-lapangan selalu menjadi lautan manusia. Karena ruang bermain kita hanya itu. Itu saja ‘sungai’ kita yang tersisa, di kota.

Sungai juga menjadi cerminan, warna air menjadi gambaran, seberapa keruh kehidupan kita. Semua bermula dari limbah buangan hati kita.

MINIKINO FILM WEEK (MFW) 4, Bali International Short Film Festival telah berlangsung pada 6 – 13 Oktober 2018. Festival film pendek internasional terbesar di Indonesia ini, melibatkan 10 venues yang menjangkau hampir seluruh Pulau Bali, meliputi Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, Gianyar, Buleleng, Jembrana dan Klungkung, yang berlangsung secara serentak.

Selama delapan hari berlangsungnya MFW 4, terdapat 92 acara pemutaran film yang menghadirkan lebih dari 200 film pendek dari 60 negara, yang dikemas dalam berbagai program yang menarik. Selain pemutaran film, MFW 4 juga menyuguhkan 12 acara talks dan workshop yang menghadirkan pembicara Nasional dan Internasional. Tema yang diangkat dalam talks dan workshop MFW 4 diantaranya akting, script writing, kolaborasi dan kreatifitas produksi film, hingga presentasi repatriasi Bali tempo dulu.

Minikino Film Week 4 Membuka Ruang Kolaborasi Lintas Budaya

Festival film pendek

Pengisi Suara Film 'Be The Red' dari Sanggar Anak Tangguh (foto: vifick Bolang #sayabercerita)

Ketika festival film identik dengan kegiatan menonton film, MFW membuka kemungkinan baru dengan menghadirkan sebuah festival film pendek yang sekaligus menjadi ajang kolaborasi kreatif lintas disiplin dan budaya.

Dapat disimak saat acara pembukaan MFW 4 pada hari Sabtu, 6 Oktober 2018, menghadirkan pertunjukan kolaborasi antara Melati Dance Studio dan kelompok pemusik gamelan Narwastu Art Community yang terdiri atas musisi lintas negara. Mereka mempersembahkan tarian Rejang Purwa Siddhi serta tari Condong yang dikomposisikan khusus untuk malam pembukaan MFW 4.

MFW 4 juga menghadirkan proyek kolaborasi antara Teater Kalangan dan Sanggar Anak Tangguh. Anak-anak kelas 5 SD dari Sanggar Anak Tangguh tampil secara langsung (live) melakukan sulih suara (voice-dubbing), menerjemahkan bahasa Korea ke dalam bahasa Bali dari sebuah film pendek Korea Selatan berjudul ‘Be The Reds’ karya sutradara Kim Yoongi, yang juga berkesempatan hadir menyaksikan untuk pertama kali filmnya dialihsuarakan ke dalam bahasa lain. Selain tampil dalam acara pembukaan festival, proyek kolaborasi ini juga di bawa ke Desa Nyambu Tabanan dalam program Pop-Up Cinema (Layar Tancap).

Menyaksikan Festival Film Pendek dan Wisata Keliling Bali

Dengan melibatkan sepuluh venues di seluruh Pulau Bali yang aktif secara serentak selama delapan hari, Minikino Film Week 4 membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati suguhan program film pendek di lokasi yang paling dekat dengan tempat tinggal mereka. Selama delapan hari ini pula menjadi kesempatan menarik untuk menyaksikan festival film pendek sekaligus melakukan wisata keliling Bali.

Sebagai festival film pendek yang baru memasuki tahun ke-4, Minikino Film Week mulai mendapat perhatian dari berbagai pihak baik dari dalam dan luar negeri. Hal ini tentu saja menjadi sebuah gambaran positif bahwa event festival seperti ini akan menjadi produk penting bagi dunia pariwisata Bali kedepannya, selain tetap menjaga produk wisata budaya dan wisata alam yang sudah mendunia.

Selama berlangsungnya MFW 4, terhitung lebih dari 3500 penonton meramaikan berbagai program pemutaran, talks dan workshop. Tercatat pula lebih dari 40 sutradara, penulis dan produser serta aktris film dari 11 negara berkesempatan hadir, termasuk dari Indonesia sendiri.

Kimchi Jadi Best Short Film of the Year, Taksa Menangi Begadang Filmmaking Competition 2018

Festival film pendek

Salah satu sesi diskusi dengan filmmaker di Rumah Sanur (foto: vifick Bolang #sayabercerita)

Rangkaian acara MFW 4 selama delapan hari ditutup dengan malam penganugerahan internasional, mempersembahkan penghargaan berupa pengakuan prestasi hasil penjurian dari tiga juri utama dan tim juri muda (Youth Jury).

Penghargaan internasional Minikino Film Week tahun 2018

Festival Film Pendek Internasional Bali,  Minikino Film Week (MFW) hadir kembali di tahun ke-4  yang akan berlangsung selama delapan hari mulai tanggal 6 hingga 13 Oktober 2018. Festival Film Pendek Internasional terbesar di Indonesia yang mengusung slogan your healthy dose of short film ini, menghadirkan dua kategori acara pemutaran film pendek, yaitu Micro Cinema dan Popup Cinema yang tersebar di berbagai tempat di Bali.

Untuk Micro Cinema berlokasi di Rumah Sanur, Irama Indah – Denpasar, Uma Seminyak, Omah Apik - Pejeng, Rompyok Kopi – Jembrana, Rumah Film Sang Karsa - Buleleng, dan Danes Art Veranda - Denpasar. Sedangkan untuk Popup Cinema akan diadakan di Desa Nyambu – Tabanan, Desa Pedawa – Buleleng, dan Puri Agung – Klungkung.

Layar Tancap dan Pelatihan Film di Desa-desa

festival film pendek bali

Suasana Layar tancap 3rd Minikino Film Week 2017 (foto: #sayabercerita)

Mata acara Popup Cinema atau layar tancap Minikino Film Week merupakan pemutaran program film pendek untuk menjangkau masyarakat Bali yang selama ini tidak mendapat akses tontonan layar lebar. Selain menonton film pendek, dalam acara Popup Cinema atau layar tancap ini juga diadakan workshop atau pelatihan yang berkaitan dengan film pendek dan media audio visual.

Popup Cinema selalu diiringi oleh pelatihan singkat sesuai dengan kebutuhan atau permintaan rekan-rekan di lokasi layar tancap yang kami tuju, sehingga apa yang disajikan akan memberikan manfaat yang berarti bagi mereka.” kata Direktur Eksekutif Minikino Film Week 4 I Made Suarbawa saat ditemui di sela-sela jumpa awak media di Denpasar, Rabu, 26 September 2018.

Ada Film Pendek Korea Berbahasa Bali

Sesuatu yang spesial dihadirkan dalam perhelatan Mikino Film Week kali ini, yaitu hadirnya sebuah film pendek produksi Korea Selatan yang akan diputar dan secara khusus disulihsuarakan (dubbing) dalam Bahasa Bali. Film berjudul Be the Reds karya sutradara Kim Yoon-gi secara khusus diundang untuk diputar dalam rangkaian pembukaan Minikino Film Week dan di lokasi layar tancap Desa Nyambu, Kediri, Tabanan.

“Proses dubbing dalam Bahasa Bali dilakukan secara langsung bukan direkam, dimana kami bekerjasama dengan sanggar Anak Tangguh dan Teater Kalangan yang telah mulai berlatih sejak bulan Agustus lalu.” ungkap Fransiska Prihadi Direktur Program Minikino Film Week 4 dalam sambutannya.

Program Khusus dari Amerika dan Jepang

Sebagai Festival Film Pendek Internasional, Minikino Film Week 4 menghadirkan film pendek berkualitas dari berbagai belahan dunia, yang diseleksi secara khusus oleh tim programming serta melalui kerjasama antar lembaga festival.

Fransiska Prihadi juga menyampaikan bahwa Minikino Film Week tahun ini menghadirkan program film pendek dari Austin Film Festival – Amerika Serikat, yang merupakan buah manis dari kunjungan Minikino ke Austin, Texas bulan Maret 2018 atas dukungan Bekraf RI. Selain itu ada juga program khusus dari Image Forum Jepang, yang telah berlangsung sejak 2017.

Program film pendek lain yang merupakan program kerjasama dalam jejaring Minikino adalah S-Express yang merupakan kerjasama pertukaran program film pendek di Asia Tenggara dan Indonesia Raja sebuah gerakan pertukaran program film pendek antar wilayah di Indonesia.

Ngobrol Bersama Filmmaker dan Aktris Nasional

festival film pendek internasional bali

Q & A Filmmaker dan Komite MFW 4 dengan Awak Media (foto: #sayabercerita)

Di luar program pemutaran film dalam Micro Cinema dan Popup Cinema, Minkino Film Week menghadirkan tamu dari berbagai latar belakang yang menjadi narasumber dalam MFW Talk yang akan berlokasi di Omah Apik – Pejeng dan Rumah Sanur.

Narasumber Internasional yang hadir diantaranya, Aurélian Michon dari Perancis yang akan berbagi cerita tentang atmosfer produksi, distribusi dan eksibisi film pendek di Perancis dan Eropa. Ada pula Liew Seng Tat, sutradara muda dari Malaysia yang akan berbagi pengalaman dalam menulis film panjang pertamanya setelah membuat banyak film pendek. Kemudian ada Koyo Yamashita dari Image Forum yang akan berbicara mengenai film eksperimental dan pengaruhnya.

Dari Indonesia akan hadir sutradara dan penulis Paul Agusta yang akan berbagi mengenai kolaborasi dalam produksi film. Ada juga Putri Ayudya, Aktris Indonesia yang akan berbagi cerita mengenai pengalaman pribadinya dalam menekuni dunia akting, baik dalam hidup nyata maupun untuk seni peran. Hadir pula Nia Dinata produser dan sutradara papan atas Indonesia yang akan membuka kisah pribadi, kenapa menaruh hati untuk menjadi produser film Indonesia. Selain itu akan hadir pula tim Seruni Audio yang akan bercerita dan merekam suara bersama penonton dengan mikrofon clip-on buatan tangan mereka sendiri yang telah dipasarkan ke berbagai negara.

Sedangkan dari Bali sendiri akan hadir Marlowe Bandem yang akan memperkenalkan proyek Bali 1928, proyek repatriasi internasional yang bekerja sama dengan Dr. Edward Herbst, di mana catatan dan film Bali tahun 1920 dipulangkan dari beberapa negara. Hadir juga DrEAD TEAM yang akan berkisah mengenai kecintaan dan pengalaman saat membuat film horor serta tips trik mengelola cerita yang ingin dijadikan film horor.

Festival Pass Untuk Penonton, Gratis Untuk Pelajar

Tahun ini Mikino Film Week mulai memberlakukan Festival Pass atau tiket terusan bagi para penonton yang berminat untuk menghadiri dan menyaksikan berbagai mata acara festival film pendek internasional ini.

Minikino Film Week 4 memiliki beberapa jenis pass, yaitu Mezzo Pass untuk umum, Student Pass untuk pelajar yang dapat mengakses semua kegiatan program pemutaran film pendek dan MFW Talk. Ada juga Supreme Pass yang bisa mengakses semua kegiatan termasuk opening, Awarding Night dan closing. Mezzo Pass dan Supreme Pass dikenakan biaya tertentu sedangkan Student Pass gratis, dengan mengisi formulir dan menunjukan kartu pelajar atau mahasiswa.

Bagi yang ingin mendapatkan MFW Festival Pass bisa segera mengakses website minikino.org/filmweek, sehingga tidak akan kerepotan saat ingin menonton, karena bagi penonton yang tidak memiliki festival pass akan dikenakan donasi di tiap pintu masuk acara.