Saya berkesempatan mengunjungi dan mengikuti beberapa festival, di Bali ataupun di luar Bali. Tidak banyak, tapi cukup variatif, mulai dari festival kecil sampai yang katanya paling besar di kelasnya, mulai yang satu tema sampai multi-platform, mulai yang dua hari sampai yang satu bulan. Saya juga adalah anggota komite penyelenggara festival film pendek, yang artinya saya ada di dalam hiruk-pikuk festival, baik sebagai penonton, pengisi acara, dan penyelenggara.

Kalau diresapi dari beberapa kamus, festival diartikan sebagai sebuah perayaan, pesta meriah, sebuah peringatan tertentu yang dilakukan berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu, diisi dengan rangkaian kegiatan. Kata festival juga dikaitkan dengan peringatan atau perayaan yang sifatnya religius, holiday.

Di Bali, kemeriahan festival bisa dirasakan sepanjang tahun, mulai dari festival di setiap pura dengan odalan, melaspas, ngenteg linggih dan sebagainya. Ada juga festival-festival oleh pemerintah kabupaten/kota, oleh pemerintah provinsi, dinas-dinas, pemerintah pusat, ada juga festival oleh desa-desa yang berusaha merayakan kearifan lokal dan kreatifitas desanya. Kalau sebuah festival desa di promosikan dengan label Village Festival, itu biasanya pasti rame dan tempatnya memang di desa yang sudah punya pasar turis sehingga butuh diinggriskan.

Apa Itu Festival Dusun

festival dusun

Lalu bagaimana jika sebuah festival diselenggarakan dan dilabeli sebagai Festival Dusun? Apanya yang menarik, apa hebatnya? Apa yang mau dijual?

Kata Dusun, nak dusun, orang dusun, sejenis dengan penggunaan kata orang kampung, kampungan, anak kampung, yang identik dengan terbelakang, tertinggal, di bawah garis kemiskinan, tidak berpendidikan, ya pokoknya anu lah. Lalu, ujug-ujug ada Festival Dusun, di sebuah dusun yang disebut Dusun Senja di sebuah lingkungan Banjar Moding Kaja, Desa Candikusuma, Melaya – Jembrana.

Tahun 2015, saya mendengar tentang Festival Dusun ini, namun tidak berkesempatan untuk datang. Lalu, 21 – 24 Desember 2019 mereka muncul lagi, artinya setelah 4 tahun baru diadakan lagi, dan beruntung saya berkesempatan datang setiap sore dari tanggal 22 hingga penutupan pada tanggal 24 Desember 2019.

Kenapa baru muncul lagi sekarang? Saya tidak bertanya langsung, hanya mengira dari gerak-gerisk dan obrolan selama festival, baik dari pengisi acara, pendukung acara, Nanoq Da Kansas sebagai inisiator, dan Tut Wi sebagai tuan rumah. Saya menerka, mereka mengelami kegairahan kembali setelah sekian lama, kegerahan baru melihat suasana perdusunan yang kelihatannya masih berkiblat pada perkotaan dan kemoderenan, yang malah ingin melupakan perdusunan.

Festival Dusun ini kalau mau diceritakan, ya pokoknya dusun sekali lah. Hanya sebuah rame-rame di sisin pangkung (pinggir kali), lelakut dimana-mana, nonton wayang di bawah pohon pisang, megesah (ngobrol) di bawah pohon kelapa, kulinernya hanya lokalan; jaje kuskus injin, bubuh sumsum, cendol, tipat plecing, tidak ada sosis bakar atau hotdog. Apa yang mau dibanggakan? Pokoknya anulah kalau dibandingkan dengan festival plat merah yang penuh ingar-bingar dan taburan bintang kelap-kelip, kerling mata Syahrini atau tarian cuci mobil.

Sebagai sebuah festival, Festival Dusun memiliki rangkaian acara yang menarik. Ada workshop, talk show, presentasi, pameran, kuliner dan pementasan. Kegiatan ini berusaha menarik minat warga setempat dan warga dari seantero negeri anu, ada yang dari Yogyakarta, Temanggung, Bedugul, Bangli, Buleleng, Denpasar, Jembrana dan warga seputar pangkung dan bukit cemara.

Festival Yang Mengajak Sombong

Saya merasa bahwa festival ini adalah sebuah festival yang sombong di sebuah dusun sepi yang jauh dari hiruk-pikuk, untuk mendobrak bebal pikiran, membunuh setan yang berdiri mengangkang mengangkangi pikiran. Mereka sombong karena memiliki kemewahan yang sesungguhnya, yang sulit didapat di jaman yang sudah menjadikan nilai 'kota' sebagai parameter kemewahan.

Begini, Festival Dusun bisa menjadi role model. Belajarlah dari Festival Dusun di Dusun Senja untuk bisa berfestival secara gotong-royong, guyub, menampilkan potensi setempat dan para sahabat dengan sederhana namun menggembirakan. Sebuah visi penyadaran bahwa dusun juga punya daya hidup, tempat hidup dan menghidupi. Memahami dusun, membangun dusun bukan sekedar bicara dari kota anu, dengan berbagai jargon. Tapi datanglah, tinggal dan pahami seutuhnya dengan segala potensinya, sehingga bisa sombong menjadi anak dusun, sombong menjadi petani dusun, sombong menjadi anggota KWT yang punya produk coklat kelas dunia. Lalu, mari terjemahkan sombong itu menjadi proud, sebuah kebanggaan.

Ayo belajar dari Festival Dusun. Saya banyak belajar di sini. Ayo, biar anak kota iri. Dan saya iri.