Pada Sabtu sore yang hangat akhirnya kami bisa keluar jalan-jalan. Sebelumnya cuaca basah berhari-hari akibat hujan lebat dan angin kencang. Udara menjadi dingin dan matahari hanya muncul sesekali. Namun sore itu semuanya seakan hilang. Sambil menikmati cuaca yang hangat, kami memacu motor menuju Kulidan Space di Desa Guwang, Gianyar.

Saya lupa kapan terakhir kali saya mengunjungi Kulidan Space. Namun tempat ini sangat membuat saya terkesan karena lokasinya terletak di tengah sawah dan tegalan. Suasana desa masih sangat terasa walaupun sudah dilalui jalanan beraspal. Lokasinya berada di Timur jalan sehingga saat sore tiba kita akan dapat menyaksikan matahari tenggelam di balik pohon-pohon kelapa. Saat saya kembali mengunjunginya di Sabtu sore itu, suasana belum banyak berubah. Namun kali ini para pengunjung dapat menikmati suasana sambil menyeruput kopi atau kudapan-kudapan ala café kekinian. Selain itu,banyak acara dan agenda yang dilaksanakan di tempat ini. Seperti diskusi dan pameran.

Sore ini Kulidan Space menyelenggarakan pameran lukisan.  Pelukisnya adalah Gus West, dari Rambut Siwi Jembrana. Saya bukan penggemar lukisan. Jadi saat melihat banyak lukisan besar tergantung dengan warna-warna yang menurut saya sendu, saya berpikir hanya akan menikmatinya sambil lalu. Saya pun masuk ke dalam aula yang mulai banyak dimasuki para pengunjung. Pada lukisan pertama, saya mulai bingung. Lukisan karya Gus West tidak biasa.

"Dimana tandatangannya?" pikir saya sambil mencari-cari dan tidak ketemu. Saya kemudian melanjutkan ke lukisan kedua, dan berikutnya, dan berikutnya, tetap tidak ketemu. Sepertinya sang pelukis lupa menorehkan tanda tangannya, pikir saya. Tapi kenapa pada semua lukisan? Masih bingung, saya kembali ke lukisan pertama. Barangkali ada yang terlewat. Kembali saya teliti lebih detil. Saya meneliti setiap tepian pada lukisan karena biasanya disitu ada tanda tangan sang pelukis. Namun tetap saja tidak ada. Akhirnya saya berkesimpulan, sang pelukis benar-benar lupa menaruh tandatangannya. Saya memandangi lukisan itu kembali. Barangkali keunikan sang pelukis ada disitu. Saya kemudian melihat deretan angka yang terlihat acak dengan tanda lingkaran kecil dan tanda petik. Angka-angka itu ada di setiap lukisan. Saya pun menebak barangkali ini tanda tangannya. Tapi kenapa angka? "Angka-angka ini adalah koordinat." kata seseorang disamping saya. Koordinat? Wah, unik nih. Tapi kenapa harus koordinat? “Kalau bingung tanya langsung sama pelukisnya.” kata orang tadi. Tepat sekali.

Menggunakan bakat saya yang selalu penasaran, saya kemudian menemui Gus West. "Tandatangan itu nggak penting." kata Gus West sambil tertawa. Lho? Kamipun mengobrol tentang lukisannya. Di setiap lukisan karyanya, Gus West selalu menuliskan koordinat yang menunjukkan lokasi kejadian yang menjadi inspirasi lukisannya. Maka ada Monkey Changer yang terinspirasi saat melihat monyet di Pura Melanting. Lukisan itu bercerita tentang bagaimana sang monyet diberikan harmoni antara manusia dan monyet yang hidup berdampingan. Mereka disiapkan makanan, pura khusus dibangun dan tentu saja cerita-cerita hebat dibuat untuk mereka. Para turis datang tertarik untuk menyaksikan. Pandemi kemudian datang, para turis menghilang, dan para monyet kesulitan mencari makanan. Mereka kemudian ke pemukiman penduduk dan harmoni itu mendadak hilang. Mereka malah diusir, ditembak dan dianggap sebagai hama. Sangat paradoks. Ada pula lukisan buaya yang terinspirasi dari cerita para tetua untuk melindungi daerah aliran sungai. Buaya yang digambarkan angker dan ganas akan memakan siapapun yang hendak mengganggu kawasan sungai. Namun aliran modal yang agresif mengeksploitasi lebih beringas. Modal tidak pernah takut kepada cerita-cerita para tetua. Mereka takut kalau rugi.

Lukisan karya Gus West yang lain masih banyak bercerita dengan koordinatnya. Masing-masing lukisan memiliki ceritanya sendiri. Semua ceritanya sangat menarik karena kita dapat melihat bagaimana manusia menggarap alam sekelilingnya, dan bagaimana alam merespon tangan-tangan manusia yang menggarapnya.

Sejak tahun 2004 hingga kini Gus West masih aktif di organisasi Greenpeace melanglang buana bersama kapal Rainbow Warrior yang legendaris. Karena sebagian besar waktunya Gus Wes berinteraksi di luar negeri, saya jadi ingin tahu bagaimana kehidupan para bule di negerinya sendiri? Dengan lugas Gus Wes menjawab, sama saja seperti manusia pada umumnya. Ada yang peduli lingkungan, ada yang tidak. Ada yang paham,ada yang tidak. Menurut Gus Wes juga para politisinya jago membuat narasi. Ya, sepertinya sama saja seperti di sini di tanah air kita. Hehehe...

Pameran lukisan dengan tajuk “Halaman” dibuka pada Sabtu, 18 Februari 2023 di Kulidan Space Gianyar. Pameran berlangsung hingga 15 Maret 2023, memajang 13 karya lukis karya anyar Gus West yang digarap selama liburan di kampung halamannya. Gus West bekerja sebagai pelaut bersama kapal legendaris Greenpeace, Rainbow Warior. Kerja-kerja aktivisme dan latar belakang pendidikan seni rupa, menempatkan label artivis pada dirinya. Kalau dibelah menjadi Artis+Activist.

Gus West dengan nama lahir I Made Agus Wesnawa, merupakan seniman asal Jembrana, memiliki perhatian pada isu-isu lingkungan dan pernah aktif bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali. Keterlibatannya dengan Rainbow Warior dimulai sebagai relawan ketika kapal itu merapat di Bali karena adanya KTT Pembangunan Berkelanjutan di Nusa Dua, Bali, pada Juni 2002. Gus West kemudian memulai perjalanan bersama Rainbow Warior 2004, mengarungi lautan, mengunjungi berbagai negara untuk melakukan kerja-kerja penyelamatan lingkungan. Kita sering mendengar aksi-aksi lingkungan kapal itu, mulai dari model soft campaign dengan balutan aksi seni, hingga yang ekstrim seperti memblokade kapal batu bara di tengah laut. Perjalanan bersama Rainbow Warior  melakukan kampanye, aksi, riset, dan kerja-kerja kemanusiaan keliling dunia, menghantarkan pula Gus West pada aksi seni di atas kanvas ketika hari luburnya tiba.

Dalam proses berkarya, Gus West memulai dari yang terdekat dengan dirinya. Dengan melihat dan memainkan sense of belong, melakukan eksplorasi dan penggarapan. “Saya memulainya dengan ngorte dengan orang-orang di sekeliling saya. Segalanya dilakukan dengan sederhana. Datang, mendengar, melihat, melacak. Ceritanya ada namun barangnya tidak ada. Rasionalitas saya belum tentu bisa menangkapnya. Kemudian saya ke studio dan mengungkapkannya di kanvas”. Ungkap Gus West saat memberi pengantar pembukaan pamerannya.

Koordinat dan Catatan Visual

Masuk keruang pameran yang secara resmi dibuka dengan membuka pintu ruang pameran oleh Kurator sekaligus Founder Kulidan Space, Komang Adiarta, saya memulai dengan tertegun di depan lukisan udang. Bertingkah seperti pengamat seni, mencari-cari sesutu yang bisa saya catat dikepala, memptret, lalu mencari yang tidak saya mengerti untuk ditanyakan. Walaupun saya lebih sering malu bertanya, karena takut dibilang bodoh. Saat fokus memperhatikan dan mendekat ke lukisan mengambil foto angka-angka yang tertera di atas kanvas, Bli Gung Kayon yang berdiri di sebelah saya berkata, “Itu ciri khas dia, titik kordinat kejadian.” Dan pertanyaan di kepala saya terjawab tanpa ditanyakan. Suksema.

Saya lanjut berkeliling, memilih menikmati visual tanpa membaca teks yang disiapkan sebagai pendamping karya-karya lukis tersebut. Di setiap lukisan Gus West menampilkan karakter binatang yang ditampilkan nyata, mungkin ini istilahnya realis. Pada lukisan yang menampilkan buaya, saya mencoba mengambil foto closeup si buaya dari sudut yang menampilkan kesan tiga dimensi. Asli banget, jadi takut kalau tiba-tiba dia melompat. Efek lelehan cat di latar belakang buaya, memberikan gambaran ruang hidupnya, air dan lumpur. Lalu kenapa buaya ini tampak begitu garang keluar dari ruang hidupnya, apa yang terjadi di sana?

Saya mengakhiri perjalanan saya di kanvas terakhir yang menampilkan seekor kambing dengan latar warna kuning, merah dan hitam. Kambing berwarna hitam berlumut itu seperti sedang berdiri di atas tebing sebuah alur sungai. Melihat lukisan ini, saya merasakan dunia mimpi. Saya bayangkan diri saya adalah kambing, sedang terbawa ke alam membingungkan, tidak tau arah dan dimanipulasi oleh situasi. Menilik dari narasi di balik lukisan dan judulnya "Mencari Kambing Hitam", mungkin ini gambaran dunia kematian si kambing karena bulunya yang hitam. Dicari, ditemukan, untuk dikorbankan. Di kanan atas, saya melihat roh kambing hitam yang membiarkan kita membaca kentutnya. Kalian harus datang untuk membacanya sendiri, sehingga kita bisa ngobrol dan mengaitkan kambing dengan Bansos.
Sejak Mebali Balang Tamak dan Bansos di Art Center

Saya selalu suka ketika fenomena bansos dibahas oleh para seniman. Ketika jaman Orba masyarakat dininabobokan dengan subsidi. Saat ini saya lihat masyarakat banyak dibuat tergantung pada bansos (baca: belas kasihan). Episode bansos sering menegangkan. Ditunggu tak datang, kadang datang tak dinyana dengan berbagai implikasinya.

Bicara Bansos, rasanya lucu kalau kita kaitkan dengan lukisan monyet yang sedang duduk termangu memegang uang kertas dolar. Monyet ini sejenis korban ketergantungan Bansos. Ketika banyak turis, dia mendapat banyak makanan dan wajahnya selalu tampak manis walau meringis. Tapi ketika turis tidak ada dia merana dan dianggap hama.

Monyet memang laris di dunia turis. Bisa dihitung banyaknya hutan monyet yang jadi objek turis di Bali. Bahkan monyet yang tak lagi punya hutan juga masuk daya tarik wisata. Banyak gerakan-gerakan baik untuk monyet yang saya tau. Di Ubud, ada upaya pengendalian populasi dengan mengebiri dan penyediaan pakan tambahan. Di uluwatu saya baca berita, monyet dibuatkan kolam renang khusus untuk menyejukkan hatinya agar lebih bersahabat pada pengunjung. Beberapa kawan pernah mengirimkan makanan tambahan seminggu dua kali untuk monyet-monyet di Pulaki.

Kepentingan Pariwisata dan Hal Ekonomi Lainnya

Sebagian tindakan Manusia didasari oleh kepentingan perut (baca: ekonomi). Entah karena perut lapar atau kerakusan. Untuk pemenuhan satu kepentingan, kadang manusia menjadi manipulatif dan mencari pembenaran atas tindakannya. Bahkan undang-undang pun bisa diubah untuk mengakomodir kepentingan itu.

Dalam beberapa lukisan Gus West tampak amatan terhadap fenomena pengubahan tatanan ruang dan fungsinya. Lukisan berjudul "Kirig-kirig Udang" misalnya, menjadi catatan kuat tentang tajamnya kepentingan ekonomi mengubah fungsi ruang. Udang, yuyu, kerang, omang-momang mungkin tidak tampak imbasnya ketika kehilangan ruang hidup dan kelaparan. Tapi ketika dia adalah monyet, celeng, maka persoalan baru akan muncul. Seperti halnya kasus-kasus amukan gajah, macan, atau beruang. Kita harusnya bertanya, binatang yang mengganggu ruang hidup manusia atau manusia yang ngelurug dan mengekploitasi ruang hidup binatang. Mungkin ketika para manusia masuk hutan bersama sapi-sapi peliharaanya, para celeng mengumpat, “Dasar babi!”.

Halaman: Realisme Ekologis

Dari judul pameran “Halaman”, tergambar sesutu yang dekat dengan kita, bagian tak terpisahkan dari tempat kita tinggal. Halaman juga bisa merupakan bagian atau lembaran-lembaran pengalaman hidup, catatan pertemuan-pertemuan dan kegelisahan. Rekaman-rekaman diatas kanvas Gus West adalah realitas saat ini di sekitar kita. Mungkin buaya tidak dekat dengan hidup saya, tapi fenomena apa yang dialami tiap karakter dalam lukisan Gus Wes, terjadi pula pada hal yang dekat dengan hidup saya. Kadang wujudnya babi, sapi, kucing, anjing, kepiting, memedi, banas dan sebagainya.

Eksplorasi pada hal yang dekat dan tampak kecil oleh Gus West, namun mampu ditarik keluar dan menyentuh nilai dan isu universal. Ini menggambarkan pertemuan riset dan wawasan yang matang. Demikian halaman-halaman kanvas Gus West saya rasakan.