Hampir selalu terlintas di kepala saya pertanyaan, Siapakah saya? Who am i?. Pertanyaan itu hampir selalu muncul ketika saya dalam kondisi sendiri tanpa beraktivitas. Saking seringnya pertanyaan itu muncul, saya sampai ingin langsung berhadapan kepada sang penanya sambil menyerahkan KTP saya ????.

Akan tetapi, perlahan, sedikit demi sedikt, pertanyaan itu mulai mempengaruhi saya. Bahkan pertanyaannya berkembang menjadi, kenapa nama saya ini, kenapa bapak saya ini, kenapa ibu saya ini, kenapa saya bersaudara 3, kenapa saya dilahirkan di keluarga ini, knapa saya lahir didesa ini, kenapa saya beristri ini, dan masih banyak kenapa kenapa yang lain. Dan itu terus berkembang berkembang, membesar, bahkan dengan liarnya merembet kemana mana, bahkan sampai ke ranah ranah yang bahkan saya sendiri tidak mampu mengimajinasikan.

Karena terlalu sering memikirkan "kenapa" yang tadi, akhirnya singkat saya menjawab "karmapala". Yupp, betul, "Karmapala" berarti buah dari perbuatan.

Apapun kadaan yang saya terima saat ini adalah hasil dari perbuatan saya. Karena Tuhan Maha Hebat yang tidak mungkin salah menentukan apa yang seharusnya terjadi di dunia ini. Beliau Maha Absolut yang tidak akan melakukan kesalahan walau hanya seupil. Akhirnya saya merasa lega, pertanyaan tentang siapakah saya mulai sirna, dan saya mulai bisa menerima situasi dan kondisi saat ini tanpa berusaha menyalahkan dan menghakimi makhluk lain. Saya sebagai manusia tinggal menjalan apa yang sudah digariskan dengan cara terus beikhtiar dan menyerahkan apapun hasilnya kepada Yang Maha Kuasa.

Ternyata sesimpel itu.....

“Yes, I believe that happiness can be achieved through training the mind” kata Dalai Lama dalam buku The Art of happiness: a hand book for living.

Dari kalimat itu saya merenungkan sebuah kejadian yang baru saja saya alami. Betapa jengkelnya perasaan saya saat sesuatu yang saya inginkan sedang dalam titik menuju pencapaian dan tiba-tiba semuanya runtuh. Saya mengibaratkan hidup saya seperti sedang membangun sebuah istana pasir yang tetiba runtuh diterjang ombak. Semuanya hanya mampir sesaat dan pergi begitu saja seakan tidak ada kesempatan untuk menikmatinya barang sekejap.

Bisa dibayangkan saat pundi-pundi tabungan baru saja menggelembung, sebuah musibah muncul dan menerjang. Bantuan harus segera diturunkan, perahu penyelamat, team SAR harus dipanggil, tenda darurat dan makanan harus dikirim, (ini bukan tsunami Aceh, ini hanya soal gangguan kesehatan) dan pundi-pundi itu mengempis kembali.

“Kapan sih ada kesempatan bersenang-senang, menikmati sedikit kebahagiaan?” hati saya sempat marah besar.

Tapi kemudian saya merasa semua berjalan dengan lancer, kesehatan membaik, segala keperluan RS tercukupi dan musibah itu berlalu dengan membawa semua isi pundi saya. Teringatlah saya pada sebuah film (saya belum ingat judulnya), ketika seorang istri sangat marah, dia memutuskan pergi membawa anak-anaknya meninggalkan suaminya sedirian. Saat berhenti untuk makan di sebuah restoran, dia bertemua dengan seorang laki-laki tua berkulit hitam yang mengajaknya bercakap-cakap.
Intinya begini:
“Jangan pernah berpikir bahwa tuhan akan memberikan semua yang kita minta, tapi Tuhan akan memberikan semua kesempatan untuk mendapatkannya. Jika kita meminta kebahagiaan maka tuhan akan memberikan kita kesempatan untuk merasakan kebahagiaan. Jika kita meminta kerukunan dalam rumah tangga, maka tuhan akan memberikan kesempatan bagi kita untuk membinanya.” Nah, bisa ditebak ending filmnya pasti happy.

Untuk kasus saya Tuhan telah memberikan kesempatan bagi saya untuk mengisi pundi-pundi itu, sebelum kemudian diberikan kenyataan bahwa kesehatan saya bermasalah. Dan Tuhan memberikan kesempatan pada diri saya untuk merasakan bahwa apa yang saya kerjakan dan hasilkan, sangat berguna dalam hidup ini. kalau seandainya saya diberi kesempatan makan bebek goreng di restoran, mungkin tidak akan sempat saya merenungkan bebek itu, karena sekali bersendawa, rasanya sudah lenyap.

Sepertinya kebahagiaan itu hanya bisa di peroleh dari pikiran kita sendiri, saya harus melatihnya. Kalau hanya tentang penuh tidaknya pundi yang saya miliki, mungkin hanya bahagia saat dia penuh. Kalau kosong? Melarat lagi lahir batin. Lalu, seperti yang di ungkapkan Dalai Lama, pikiran bisa dilatih untuk mencapai kebahagiaan yang sebenarnya, dan berlaku setiap saat dan dalam kondisi apapun.

Beberapa orang pernah berkata pada saya bahwa, seandainya kamu melihat kehidupan ini dari sisi jeleknya saja, bisa dijamin kepalamu akan selalu pusing mencapai lebih dari sekedar tujuh keliling. Tidak punya uang takut jadi gembel. Punya uang banyak takut kerampokan. Punya istri cantik takut diselingkuhi orang.

Ada ungkapan orang bali yang selalu “Aget” (untung). Apapun kejadian yang menimpanya. “Aget ye idup” (untung dia masih hidup) ungkapan itu sering saya dengar saat seseorang mengalami kecelakaan, padahal orang itu patah tulang pada kedua kaki dan tangannya. Atau jika korban meninggal karena kecelakaan yang parah. “Aget ye mati, padaan idup kegele-gele.” (untung dia mati, dari pada hidup sekarat/menderita). Saya menganggap ungkapan itu merupakan gaya berpikir positif yang membantu mengurangi rasa kecewa. Karena kecewa membuat kita terpuruk dan merasa semuanya sia-sia tiada guna.

Kemudian saya melatih diri saya untuk selalu berpiki pisitif, dengan harapan saya bisa menikmati hidup betapapun susahnya. Kalau sedang mengalami perasaan tidak nyaman saya akan berteriak “HIDUP INI INDAH”. Tapi ternyata susah, saya masih mengusahakannya.

"Apakah kebahagiaan tentang kedudukan dan harta semata?"

"Seperti kita mengenakan pakaian; karena merek atau kenyamanan?"

Saya pernah iri pada orang yang berprofesi sebagai dokter. Mereka di hormati, duit mengalir. Sepetinya mereka semua selalu bahagia. Tapi suatu kali saya melihat seseorang berdebat denga seorang penerima tamu klinik; intinya orang itu adalah seorang staff dealer/finance yang mencari seorang dokter yang namanya tertempel di pintu untuk urusan kredit mobil yang macet; nomor Hp tidak aktif, alamat rumah sesuai Ktp sudah kosong. Entahlah, apakah mereka bahagia? Tapi saya tetap bangga pada orang yang beersedia mengabdikan diri sebagai seorang pelayan kesehatan, apa lagi yang bersedia di tempatkan di daerah-daerah.

Satu orang lagi, dia adalah pengusaha yang mengembangkan sebuah usaha keluarga yang kini merambah keseluruh Indonesia. Kaya, banyak rumah, banyak mobil, istri cantik. Saya begitu iri dan ingin seperi dia, karena selain kaya dia juga dermawan, menyumbang sana-sini dalam jumlah besar. Apakah dia Bahagia? Saya sering melihat dia uring-uringan jika ada orang yang berusaha merebut pasar bisnisnya, selalu bertampang masam jika karyawannya bicara mengenai tunjangan kesehatan dan kesejahtraan.

Lalu di mana kebahagiaan itu?

Saya mulai percaya kebahagiaan itu ada dalam pikiran kita. Materi adalah pelengkap yang juga tidak boleh dikesampingkan. Seperti membedakan mansturbasi dan bercinta dengan pasangan, semuanya bisa mencapai orgasme. Atau makan bebek goreng di warung tenda dengan makan di restoran. Kenyangnya sama, hanya sensasinya yang beda.

Baiklah, di mana kebahagiaan itu bertahta dalam diri anda? Bolehlah berbagi dengan kita semua?

Kemarin lusa, saya diminta untuk datang ke rumah kontrakan teman saya yang membuka usaha pencucian pakaian, dengan nama Kadek’s Laundry. Kadek mengalami masalah dengan daya listrik, saat harus mengoperasikan dua buah setrika dan dua mesin cuci. “Listriknya jeglag-jegleg. Yang punya rumah bilang ini sembilan ratus watt.” Kadek menjelaskan ketika saya tiba di rumahnya.

Agar kelihatan meyakinkan dimata Kadek, saya melihat lebih seksama panel listriknya, kemudian sebagai teman saya memberi dua opsi. Yang pertama Kadek harus melakukan penghematan dengan satu setrika saja dan satu mesin cuci saja. Kedua, Kadek harus mengajukan permohonan penambahan daya ke perusahaan listrik.

“Ya saya hitung-hitung dulu, mana yang lebih menguntungkan.”

Sambil menikmati teh botol yang disuguhkan, saya mendapat penjelasan bahwa potensi bisnis laundry sedang naik daun. Semua orang membutuhkan jasa cuci-mencuci. Semua ingin praktis dan cepat. Mesin cuci ternyata belum menjadi solusi yang sempurna, karena sebagian orang menginginkan yang lebih mudah. Tinggal klik, pakaian kotor sudah tersetrika rapi.

“Tahu tidak, bisnis apa yang akan laku keras dalam tahun-tahun kedepan ini?” Kadek memberi teka-teki, dan saya pura-pura berpikir keras dengan mengetuk-ngetuk pelipis menggunakan jari telunjuk.

Suara mesin cuci berhenti menderu kemudian Kadek mengeluarkan pakaian-pakaian yang sudah setengah kering, membawanya dengan ember besar berwarna biru dan menggantungnya satu persatu di jemuran. Saya memindahkan diri ke depan tv yang menyala, dan saya sudah berhenti berpikir ketika Kadek masuk dan menanyakan kembali teka-tekinya. Saya hanya menggelengkan kepala.

“Begini bro,” kata Kadek setelah duduk di sebelah saya. “Sekarang orang selalu berpikir praktis dan tidak mau susah. Bayangkan betapa debu dan asap yang beterbangan diluarsana. Ketika otak manusia juga terkontaminasi oleh polusi-polusi jaman edan. Saat mereka bertengger di titik puncak kemanjaan duniawi. Kemudian ketika sebuah badai datang dalam kehidupan mereka, maka saya yakin otak mereka nyaris pada posisi 100% kotor, terkontaminasi, stress. Dan saat itulah saya perlu memasang poster ‘terima cuci otak’.” Kadek tertawa keras sekali saat mengakhiri kelakarnya.

Cuci otak saya pikir sangat ekstrim dan terdengar radikal. Tapi setelah saya renungkan, setiap orang telah mengalami kekeruhan dalam otaknya akibat stres harian, yang seakan menjadi brand image manusia modern. Orang sibuk pasti stres,  banyak uang banyak stres, banyak pikiran jadi stres, agar dikira sukses orang-orang mengatakan dirinya stres.

Saya yakin bahwa Kadek akan sudah sangat terlambat memasang poster terima cuci otak, jika menunggu beberapa tahun lagi. Banyak orang saat ini sudah bersedia membayar mahal untuk sebuah terapi yang menenangkan jiwa, seminar yang membangkitkan gairah hidup, ceramah pembersih jiwa, buku petunjuk menjadi bahagia, video kotbah, hingga siaran tv pencerahan jiwa.

Membersihkan baju dan pikiran sama-sama capek, makanya jangan sampai kena saus sambal.

Pada masa jaya Elias Pical dan Icuk Sugiarto, kami dan para tetangga berbondong-bondong menonton tv dirumah tetangga kami, Dewa Aji Komang. Dia satu-satunya penduduk terdekat yang memiliki tv, yang waktu itu dicatu dengan tenaga aki dan warnanya baru dua, hitam dan putih. Semua orang bersuka-cita mendukung pahlawan-pahlawan olah raga yang mengharumkan nama Indonesia. Mengagumi penyanyi dan artis-artis televisi, semuanya tampak begitu cantik, sempurna dan indah.

Kotak ajaib bernama tv itu baru merambah rumah kami sehari setelah pemilu tahun 1992. Yakinlah bahwa ini bukan hasil sumbangan caleg. Warna gambarnya masih dua, hitam dan putih, karena harga tv berwarna tentu saja tidak terjangkau oleh kantong ayah kami yang seorang Guru biasa. Tapi bukan warnanya yang kami persoalkan, tapi rasa bangga yang kami nikmati ketika bisa duduk di depan tv, dalam rumah kami sendiri.

Setiap perubahan berpangkal dari buah pikiran manusia. Tidak ada pilihan ya atau tidak untuk perubahan, karena ia mengalir. Ketika hitam putih menjadi berwarna, tabung cembung menjadi datar, tabung CRT menjadi LCD, analog menjadi digital, semua ada harga yang harus dibayar oleh manusia.

Berangsur hari berangsur tahun, tv hitam putih kami rusak. Dua kali masuk bengkel sebelum akhirnya harus pensiun untuk teronggok di sudut halaman. Dalam kurun enam tahun, ia tergantikan oleh dua generasi baru tv berwarna lengkap. Demikian pula dengan para tetangga, nyaris setiap rumah sudah menikmati tv sebagai hiburan utama kala melepas kepenatan.

Setiap orang telah disentuh oleh kemewahan kecil bernama tv yang semakin penuh warna, dengan pilihan stasiun dan program acara kesenangan masing-masing, tinggal pencet remote. Ketika tv mengisi setiap ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, dapur, bahkan tidak ada celah dalam rumah yang tidak dilengkapi dengan tv, suasana menonton jadi berbeda dalam kamar-kamar itu. Tidak ada lagi lampu senter yang berkedip di kegelapan malam menelusuri jalan setapak, untuk menyaksikan perhelatan tinju, bulutangkis, drama gong atau sepak bola. Tidak ada lagi kemeriahan seperti dulu.

Kehidupan sepertinya bergerak terbalik. Ketika tv hanya memiliki dua warna, hitam dan putih, ia memiliki penonton yang begitu banyak dan meriah. Namun ketika warna tv hadir lengkap dan tampak semakin indah, suasana menjadi sunyi tanpa gairah. TV sepertinya hanya sebuah pelarian untuk membunuh sepi, menemani kesendirian, menghilangkan kejenuhan, karena tidak ada teman bicara.

Saat ini bukan soal mahal harga tv atau banyaknya kanal, namun harga dari imbas perubahan itu yang menjadi soal, saat manusia merindukan suasana menonton, bukan tontonannya. Ketika kami duduk berdesakan di depan tv hitam putih ukuran empat belas inci di rumah tetangga, kami tidak membayar harga apapun selain ucapan terima kasih.

Suasana menonton kini sudah menjadi komoditi pasar hiburan di café, restaurant, club menonton, yang menyediakan tayangan layar lebar. Penonton yang datang adalah orang-orang yang bersedia membayar harganya. Namun di antara mereka selalu ada jarak, dibatasi oleh uang dan ego yang membawa mereka kembali ke dalam diri mereka sendiri yang kesepian.

Selalu ada harga yang harus dibayar ketika kita menginginkannya, bahkan ketika kita menolaknya.

Kalian  pasti mengenal kalimat ini:
“Usahakan yang terbaik hari ini, untuk hari esok yang lebih baik.” atau “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin” atau, “Hari esok harus lebih baik dari hari ini.” Kalimat-kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa hendaknya hidup kita semakin baik dari hari ke hari. Tapi ternyata saya menerapkan kalimat tersebut dengan sedikit terpelesat. Karena saya selalu mencari pembenaran bahwa; apapun yang terjadi hari ini, mari perbaiki esok saja.

Pada kenyataan sehari-hari, saya sering membiarkan diri saya hidup pada hari esok, bahkan dalam hal-hal yang sangat kecil dan sesungguhnya tidak membutuhkan pemikiran yang canggih, atau resiko menghabiskan tenaga besar, karena persoalannya hanya berurusan dengan kamar kecil–toilet–wc–kamar mandi. Dalam situasi ini, kenapa persoalannya kemudian menjadi ruwet, rumit dan melilit hidup saya? Adalah karena persoalan kamar kecil, yang direcoki oleh bisikan setan kecil, yang  merayu dan sedikit memaksa saya, untuk membiarkan semua persoalan itu berlarut-larut.

Persoalan pertama adalah, keran di kamar mandi sudah bocor nyaris sejak empat bulan yang lalu. Yang kedua, jika mandi di atas jam tujuh malam suasananya sangat gelap, bukan karena pemadaman listrik bergilir yang beberapa bulan kemarin melanda. Tapi karena lampu kamar mandi mati sejak lebih dari dua bulan yang lalu. Pertanyaannya, kenapa masih menyisahakn masalah hingga hari ini? Padahal saya punya pengalaman sebagai profesional dalam  urusan dengan air, pipa, keran, kabel, lampu dan listrik. Saya bukan orang yang tidak tahu bagaimana cara memasang seal tape agar keran tidak bocor. Atau gagap ketika berhadapan dengan setrum listrik.

Setan kecil telah menguasai kehidupan saya, sementara malaikat kecil megap-megap tenggelam dalam banjir kenyamanan yang dihembuskan setan kecil.  Dengan kedipan mata bersekongkol, setan kecil selalu berkata, “Sudahlah, biarkan saja lampu itu, toh kamu tidak selalu mandi malam hari. Apa lagi kamu tidak punya tangga untuk naik. Pakai kursi kan tidak cukup. Besok saja lah, hari ini ada pekerjaan yang lebih penting yang harus diselesaikan. Kalau bisa besok kenapa harus hari ini? Kalau bisa ditunda kenapa harus buru-buru?”.

Kalau sudah begitu, malaikat kecil tersungut dan menggerutu, “Ya besok saja, hu’uh. Kalian seperti kenek angkot yang memasang stiker ‘hari ini bayar besok gratis’. Besok, besok, besok, terus saja besok. Sudah berapa kali besok, tapi tetap saja besok. Kalau semua mau dikerjakan besok terus hari ini apa? Jangan mencoba menjadi regu tembak, tar sok tar sok”. Setelah menyelesaikan kalimatnya, malaikat kecil biasanya kabur dengan membanting pintu.

Kenapa hidup saya terombang-ambing dalam perseteruan dua mahluk kecil itu? Kenapa saya tidak bisa memutuskan apapun? Dimana seharusnya saya meletakan esok dalam hidup saya? Ketegasan itu sama sekali tidak ada. Bahkan untuk hal kecil.

Ahirnya tekanan koalisi yang digalang malaikat kecil datang. Ibu, ponakan, sepupu, dan keluarga dari kampong, akan datang dan tinggal ditempat saya pada akhir pekan depan. Ini yang menghasilkan desakan kuat agar saya segera membereskan persoalan kecil itu. Semua akhirnya beres karena desakan, terdesak, mendesak dan didesak. Apakah saya harus terus menunggu diri saya terdesak oleh pengaruh dari luar, baru kemudian saya menjadi manusia yang hidup hari ini? Kenapa tidak melakukan yang terbaik hari ini untuk hari esok yang lebih baik?

Dan selalu ada kambing hitam pada setiap persoalan. Bahkan soal kecil.