Sebelum membeli smartphone baru, saya adalah pemakai setia Nokia poliponik. Walaupun saya pernah bekerja dalam bidang yang berkaitan dengan perangkat berteknologi, namun jika berkaitan dengan teknologi smartphone saya termasuk yang tidak mengikuti pergerakan jaman. Membeli Smartphone baru saya lakukan sekitar enam tahun yang lalu, dan baru upgrade setahun lalu. Sementara teman-teman sepermainan sudah ganti smartphone lebih dari tiga kali.

Waktu memutuskan memiliki smartphone pertama kali, pertimbangannya adalah; ok fine, saya harus terhubung menggunakan perangkat yang lebih canggih dari sekedar Nokia polyphonic. Setelah punya smartphone, selama empat tahun saya selalu membawa dua perangkat komunikasi, si smartphone Android merek Samsung dan si Nokia warna merah itu. Sekarang baru saya sadari, prosees transisi penuh ke perangkat berteknologi Android buat saya, butuh empat tahun. Waktu yang lama, terlalu lama mungkin, susah move on.

Menimbang Fitur vs Harga Smartphone

Smartphone pertama yang saya gunakan termasuk kelas mengengah, namun dia termasuk kelas menengah bawah kalau dilihat dari harga benda sejenis ataupun dalam keluarga merek yang sama. Ya, pertimbangan pertama adalah harga, baru kemudian saya memilih fitur yang sesuai dengan kebutuhan. Fitur yang saya perhatikan pertama adalah kamera, karena saya main-main dalam bidang videografi.

Smartphone dengan kamera beresolusi 1080p pada harga yang cocok dengan kantong, menjadi pilihan tapat kala itu. Eksperimen videografi dengan smartphone sempat saya lakukan, terutama untuk merekam momen-momen putri saya; sejak belajar berjalan, belajar bicara dan berbagai tingkah ajaib pertumbuhan anak manusia. Dengan benda kecil bernama smartphone yang ringan dan selalu melekat setiap saat, membuat saya tidak banyak kehilangan momen, ketimbang harus mengeluarkan kamera DSLR Canon dengan lensa 18-200mm.

Kalian mungkin tertawa kalau saya bisa bertahan menggunakan smartphone dengan kapasitas penyimpanan internal 8 GB selama 6 tahun. Serius, enam tahun saya tidak berganti HP. Saya sendiri baru menyadari ketika semua aplikasi telah tumbuh besar dan membutuhkan ruang simpan yang lebih besar dan ruang kerja yang lebih besar pula. Yang artinya mesti menambah kapasitas memori dan mesin pikir si smartphone.

Pertamanya saya masih menolak secara halus kondisi itu, dengan mengurangi berbagai aplikasi yang saya anggap tidak penting dan memang jarang digunakan. Memindahkan semua file-file yang bisa dipindahkan ke SD card tambahan, sering-sering membersihkan residu file dan upaya-upaya yang sebenarnya hanya menunda kematian. Hingga kemudian versi 64 bit pada aplikasi-aplikasi itu mulai diterapkan dan pertumbuhan aplikasi sudah mengarah nuansa obesitas jika dibandingkan dengan daya simpan smartphone saya.

Akhirnya saya amenyerah! Walaupun saya masih merasa secara benda smartphone saya masih layak pakai, paling tidak untuk call, SMS, WA dan IG; akhirnya saya beralih ke smartphone baru. Smartphone terupgrade, dompet terdowngrade.

Pertimbangan  Sebelum Membeli Smartphone Baru

Memasuki toko gadget di kawasan Gatot Subroto – Denpasar, saya mulai merasa terlalu lama sudah saya tidak mengupgrade diri. Jika dulu, pertimbangan saya smartphone berkamera 1080p, sekarang tersedia dengan resolusi 4K, bahkan dengan kamera berjejer tiga atau empat untuk hasil foto lebih lebar. Namun kamera bukan lagi menjadi konsentrasi fitur dalam memilih.

Sebagai pertimbangan utama tetap sesuai budget yang telah disetujuai Ibu Mentri Keuangan, dan mengingat situasi dan kondisi dimana merupakan masalah penting adalah 8GB yang tidak sanggup berbuat apa-apa setelah 6 tahun, maka kapasitas penyimpanan menjadi prioritas. Saya putuskan dengan tempo yang tidak sesingkat-singkatnya, memilih sebuah smartphone bermerek yang tidak sama, dengan kapasitas penyimpanan internal 128GB. Artinya 120GB melebihi kapasitas smartphone sebelumnya. Kalau dikalkulasi, semoga kapasitas penyimpanan ini bisa bertahan 10 tahun.

Setelah membeli Smartphone baru, saya mengalami gejala yang agak aneh. Entah dengan kalian yang juga baru memiliki gadget baru dan dibeli dengan cucuran keringat dan jerih payah sendiri. Keanehan itu adalah pada memori saya tentang gadget baru ini. Apakah memori otak dan ke-smart-an saya dimbil oleh smart-phone baru saya? Yang mana benda yang saya pakai menelpon itu sesungguhnya Alien yang menyamar? Sejak memilikinya, aneh sekali, saya tidak bisa mengingat mereknya. Kalau ada yang bertanya, “Merek HP barumu apa?” Saya akan balik bertanya, “Lha merek hapeku oppo yo? dak ngerti aku!” Salam sehat dan bahagia dimasa tanggap covid-19.